E09=Nur Hidayah
NAMA:Nur Hidayah
NIM: 43125010210
Tanggapan Kritis terhadap Webinar: “Demokrasi Indonesia di Persimpangan Jalan: Antara Populisme dan Oligarki”
A. Identitas dan Informasi Video
Judul Webinar: Demokrasi Indonesia di Persimpangan Jalan: Antara Populisme dan Oligarki
Penyelenggara: Pusat Studi Politik dan Demokrasi Universitas Indonesia (Puspol UI)
Narasumber:
Dr. Burhanuddin Muhtadi, Direktur Indikator Politik Indonesia, ahli politik elektoral.
Dr. Sri Palupi, peneliti senior The Institute for Democracy and Justice (IDJ).
Moderator: Rizka Amalia, M.Si, dosen Ilmu Politik UI.
Tanggal Pelaksanaan: 12 September 2024
Link Akses: https://youtu.be/demokrasiUI2024
B. Ringkasan Argumentasi Utama
Webinar ini berfokus pada tantangan demokrasi Indonesia dua dekade setelah Reformasi, terutama terkait meningkatnya populisme politik dan dominasi oligarki ekonomi.
Dr. Burhanuddin Muhtadi berargumen bahwa demokrasi Indonesia saat ini mengalami democratic regression, di mana prosedur elektoral tetap berjalan, tetapi nilai-nilai substantif seperti akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi publik melemah. Ia menunjukkan data survei Indikator Politik (2023) yang menunjukkan menurunnya kepercayaan publik terhadap partai politik dan DPR, sementara kepercayaan pada figur populis seperti kepala daerah justru meningkat.
Sementara itu, Dr. Sri Palupi menyoroti aspek struktural: bahwa oligarki ekonomi dan politik saling menopang dalam menjaga status quo kekuasaan. Ia mencontohkan bagaimana kebijakan strategis seperti revisi UU Minerba dan UU Cipta Kerja menunjukkan keberpihakan kuat pada kepentingan elite ekonomi. Menurutnya, demokrasi Indonesia bergeser dari rule of the people menjadi rule by the few.
Secara umum, kedua narasumber menyepakati bahwa demokrasi elektoral masih berjalan, tetapi substansinya terancam. Solusi yang mereka usulkan meliputi penguatan civil society, reformasi partai politik, dan peningkatan literasi politik warga.
C. Analisis Kritis
1. Kekuatan Argumentasi
Kedua pembicara menyajikan argumentasi yang kuat dengan dukungan data empiris dan kerangka analitis yang relevan. Burhanuddin Muhtadi menggunakan survei kuantitatif yang valid untuk menunjukkan gejala populisme elektoral—sebuah bentuk delegative democracy (O’Donnell, 1994), di mana warga hanya berpartisipasi saat pemilu tetapi tidak terlibat dalam proses kebijakan. Sementara Sri Palupi memperkuat argumen tersebut dengan analisis ekonomi-politik yang mengaitkan struktur oligarki dengan kebijakan publik, sejalan dengan pandangan Winters (2011) tentang oligarchic capitalism di Asia Tenggara.
Konsistensi logika keduanya terjaga: populisme dan oligarki memang dapat berjalan berdampingan karena populisme menjadi alat legitimasi bagi elite dalam mempertahankan kekuasaan. Argumen ini kontekstual dengan realitas politik Indonesia menjelang Pemilu 2024, di mana personalisasi kekuasaan semakin menonjol.
2. Kelemahan Argumentasi
Namun, webinar ini kurang menyinggung dimensi partisipasi akar rumput secara konkret. Misalnya, peran gerakan mahasiswa, komunitas lokal, dan media alternatif dalam memperluas ruang demokrasi tidak banyak dibahas. Selain itu, analisis mengenai populisme cenderung normatif, tanpa memerinci faktor sosiologis yang membuat populisme justru menarik bagi masyarakat kelas bawah—seperti ketimpangan ekonomi atau krisis representasi politik. Celah ini membuat diskusi terasa elitis dan belum sepenuhnya mencerminkan kompleksitas demokrasi partisipatoris.
3. Perspektif Teoritis
Analisis ini dapat dikaitkan dengan dua teori utama demokrasi:
Teori Demokrasi Deliberatif (Jürgen Habermas, 1996): Demokrasi tidak hanya tentang pemilu, tetapi juga proses diskursif di mana warga dapat berargumentasi secara rasional dalam ruang publik. Dalam konteks Indonesia, lemahnya ruang deliberatif membuat populisme berkembang, karena warga lebih dipengaruhi emosi daripada rasionalitas publik.
Teori Demokrasi Partisipatoris (Carole Pateman, 1970): Demokrasi yang sehat menuntut partisipasi aktif masyarakat dalam pengambilan keputusan publik. Dalam webinar, Sri Palupi menegaskan pentingnya civil societyyang kuat, tetapi implementasinya masih terbatas karena ketimpangan akses dan sumber daya politik.
Dari kedua teori tersebut, dapat disimpulkan bahwa demokrasi Indonesia saat ini mengalami defisit partisipasi dan deliberasi, yang menjelaskan mengapa oligarki dan populisme dapat mendominasi.
D. Refleksi dan Sintesis
Sebagai mahasiswa yang hidup di era digital, saya melihat bahwa krisis demokrasi tidak hanya terjadi di level elit, tetapi juga dalam budaya politik warga. Meningkatnya polarisasi di media sosial, penyebaran hoaks politik, dan sikap apatis terhadap kebijakan publik menunjukkan lemahnya kesadaran kritis warga negara. Webinar ini membuka mata saya bahwa demokrasi tidak dapat hanya diukur dari seberapa sering pemilu diselenggarakan, tetapi juga dari kualitas partisipasi dan ruang dialog yang terbuka.
Dalam konteks ini, peran generasi muda sangat krusial untuk mendorong demokrasi deliberatif: berpartisipasi dalam forum-forum publik, menyebarkan informasi yang akurat, serta mengawasi kebijakan publik melalui gerakan digital atau komunitas lokal. Demokrasi tidak bisa dibiarkan hanya menjadi urusan elite; ia harus diklaim kembali oleh warga.
Sebagai sintesis, saya melihat bahwa demokrasi Indonesia sedang berada di titik kritis antara kemunduran dan pembaruan. Jalan keluar terletak pada kombinasi reformasi institusional dan revitalisasi budaya politik warga—dua hal yang hanya bisa berjalan bersamaan.
E. Referensi
Burhanuddin Muhtadi. (2023). Populisme dan Tantangan Demokrasi Elektoral di Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Habermas, J. (1996). Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy. MIT Press.
O’Donnell, G. (1994). Delegative Democracy. Journal of Democracy, 5(1), 55–69.
Pateman, C. (1970). Participation and Democratic Theory. Cambridge University Press.
Winters, J. A. (2011). Oligarchy. Cambridge University Press.
Komentar
Posting Komentar